REMIDI OH HOMO
Tuesday, November 18, 2014
Add Comment
Prok prok prok!!! Tepuk
tangan ketua kelas memanggil anak buahnya
“Hai teman-teman,
pelajaran bahasa inggris segera dimulai. Buruan masuk! Pak Jarno sudah jalan
kekelas.” Teriak Hendi
Keadaan semakin kacau.
Teman-teman sekelasku sudah mulai
kebingungan. Tidak peduli dengan keadaan teman. Semakin kesini keadaan semakin ribut
dan tidak karuan. Disini yang digunakan hanya satu prinsip. Tidak berlaku asas gotong
royong, jiwa korsa terabaikan, dan yang dipikirkan hanya satu, yaitu
menyelamatkan diri.
Waktu itu kami sedang
menunggu pelajaran bahasa inggris. Kami baru saja usai kerja praktek di bengkel
mesin. Dengan mengabaikan lelah kami berjalan ke mushola. Kami beristirahat
diserambi musholla sambil menanti pelajaran tersebut.
Pelajaran bahasa
inggris adalah pelajaran wajib di sekolah. Para siswa wajib ikut. Pak Jarno adalah
gurunya. Selain guru dia juga dosen di sebuah Universitas. Dia adalah guru yang
sangat disiplin dan taat melaksanakan tata tertib. Tak satupun siswa berani
meninggalkan kelasnya. Mau kencing pun, tidak diperbolehkan, harus ditahan
sampai pelajaran selesai. Bagaimana kalau kebelet? Itu nasib. Memang kalau saking
kebelet, kita harus menyusun kalimat izin dengan benar. Begitu juga cara
pengucapannya. Harus benar, tanpa kesalahan sedikitpun. Kalau salah, siap-siap,
hukuman menanti. berr
Kami berbondong-bondong
lari ke ruang 18, ruang tempat pelajaran berlangsung. Takut terlambat masuk
kekelas. Kalau terlambat, bisa tewas mengenaskan karena kedinginan akibat
semprotannya. Ruang 18 berbeda dengan ruang-ruang yang lain. Ruangannya pisah
dengan ruangan yang lain. Bersebelahan dengan tempat praktek kejuruan teknik
listrik. Seperti biasa suasana kelas sepi dan gelap. Pasti dipelajarannya,
semua pintu dan jendela wajib ditutup. Mungkin ini tempat yang dinginkannya
untuk mengeksekusi para siswanya seperti hari-hari sebelumnya. Sepi karena tak
satupun siswa berani berbicara sendiri. Hanya berani ketika ada pertanyaan dari
dia. Itu saja kalau mudeng.
Sebelum pelajaran
dimulai, seperti biasa, siswa akan diabsensi terlebih dahulu. Satu persatu nama
dipanggil olehnya
“Agil Ismoyo!”
panggilnya
“Yes, Sir.” Jawab Agil
“Ari Irwanto!”
panggilnya
“Yes, Sir.” Jawab Ari
Sampai nama terakhir
“Yudi Prasetyo!”
panggilnya
“Yes, Sir.” Jawab Yudi
Waktu itu, kami punya
jiwa korsa. Kami kompak. Kompak untuk kebodohan. Setiap Pak Jarno memanggil, pasti selalu
dijawab “Yes, Sir.” Tak satupun kata terucap selain kata itu. Ini memang hal
sepele. Tapi menurut dia ini adalah suatu kebodohan.
“Sudah hampir setahun
saya mengajar. Saya perhatikan dari kemarin-kemarin, setiap saya memanggil,
kalian kok jawabannya selalu itu. Tidak pernah berubah. Masa satu kelas jawab
yes sir semua. Apa nggak ada kata lain? Present Sir, atau apa, toh banyak kan.”
tanyanya dengan kesal
Suasana kelas tambah
hening. Serasa tidak ada yang menggubris pertanyaan itu. Memang hal itu sudah
kami rencanakan sebelum-sebelumnya. Biar dia tambah kesel sama kita. Dikelas
kami ada tiga puluh lima ekor cowok, dan satu orang cewek, namanya Dani.
Disebut ekor, karena menurut dia kami mirip binatang, yang tak punya sopan
santun terhadap guru. Cewek memang pintar. Begitupun dengan Dani. Namun pada
saat itu Dani juga ikut-ikutan menjawab yes sir. Mungkin ini yang disebut jiwa
korsa, atau mungkin dia terkontaminasi virus yang menulari dia lewat pergaulan
antar media sosial.
“Group One.” Panggilnya
untuk presentasi di depan
“Yes Sir.” Jawab Tamaki
si ketua kelompok
Sebelumnya, kami pernah
dikasih tugas untuk presentasi. Sesuai dengan materi yang telah dibagi sesuai
kelompok. Waktu itu, dibagi menjadi enam kelompok. Aku tergabung dalam kelompok
lima, dan mendapat materi If Clause Type
1. Hanya kelompokku dan kelompoknya Tamaki yang belum dipanggil untuk maju
presentasi. Untung kelompoknya Tamaki yang dipanggil.
Tamaki dan teman sekelompoknya
tampil didepan. Materi yang akan mereka bahas adalah Sign and Symbol. Dengan media power point mereka menjelaskan kepada
kami tentang arti dan kegunaan tanda atau symbol. Tentunya dengan menggunakan
Bahasa Inggris yang baik dan benar.
Tamaki dan anggota
kelompoknya menerangkan panjang lebar hingga waktu yang diberikan habis.
Eksekusi dimulai. Seperti
sebelum-sebelumnya, eksekusi ternyata dilakukan. Sudah empat kelompok dia
marah-marahi dengan alasan yang sama. Tapi, keempat kelompok tersebut tidak mendapat
hukuman sama sekali. Dia tetap mengira bahasa yang dibawakan kami saat
presentasi bukan Bahasa Inggris yang baik dan benar. “Pengucapannya salah
kaprah.” Kata Pak Jarno
Sebagai guru yang baik.
Dia mengajari kami cara berbahasa yang baik dan benar. Kalimat per kalimat kami
tirukan satu persatu. Seperti yang sudah-sudah. Setiap pertemuan dengan dia,
pasti seperti ini terus. Sudah seperti anak TK yang gagap akan bahasa.
Akhirnya, kami diberi
hukuman. Dia menghukum kami untuk membuat video pembelajaran dengan waktu
minimal dua puluh menit dengan media presentasi dan disaksikan oleh teman-teman
sekelas. Dan itu dilakukan oleh setiap individu, dengan membawakan semua
meteri. Ceritanya dia menyuruh kami untuk menjadi guru (gadungan) dengan semua
materi yang diberikan olehnya.
“Hukuman dikumpulkan
paling lambat hari Rabu di meja saya sebelum jam tujuh pagi. Tidak ada toleransi
untuk kalian.” Kata Pak Jarno
“Maaf Pak. Besok Senin Kami
sudah ujian sekolah? Masa hari Rabu?” Tanya Hendi sang ketua kelas
“Sudah saya bilang.
Tidak ada toleransi untuk kalian. Ini pantas buat kalian. Sudah, sekarang
kalian boleh pulang! Good Afternoon!”
“Good Afternoon Sir.”
Jawab kami dengan penuh kekesalan
Kami sekelas keluar
dari kandang macan. Hampir setiap mengikuti pelajaran itu, kami kesel semua.
Timbullah pertanyaan. Sebenarnya yang dikeselin sama temen-temen itu
palajarannya apa gurunya? Apa dua-duanya?
“Sebenarnya kamu kesel
dengan gurunya apa pelajarannya sih Dan? Tanyaku ke Dani
“Sebenernya aku suka
dengan pelajarannya. Tapi kenapa aku selalu kesel melihat guru homo itu.” Jawab
Dani
“Apa? Homo? Maksutnya?”
“Iya, homo. kata
teman-teman sih, Dia homo. Aku tidak mengerti soal itu. Tanya tuh yang lain.” Jawabnya
Masih dengan pertanyaan
yang sama aku bertanya ke salah satu teman dekatku.
“Sebenarnya kamu kesel
dengan gurunya apa pelajarannya to Lih?”
“Ya guru homo itu lah.
Siapa lagi. Misalkan gurunya bukan dia, pasti pelajarannya menyenangkan.” Jawab
Alih
Saat itu aku
tercengang. Mengapa bisa disebut homo? Pertanyaan itu muncul tiba-tiba. Usut punya usut. Ternyata guru ini sudah
sejak lama dipanggil cowok homo atau lebih akrabnya guru homo. Di sekolah akrab
dengan sebutan itu. Sebutan itu turun dari kakak kelas kami yang terdahulu. Sudah
sejak dulu ia dipanggil homo. Efek kakak kelas memang tiada tandingannya. Super
sekali. Homo? Mengapa homo? Harus melewati pendekatan untuk mendapat nilai baik
dalam pelajarannya. Begitu kata kakak kelas.
Minggu libur.
Teman-teman dari kelas lain sibuk belajar untuk persiapan ujian sekolah. Senin
sekolah kami mengadakan ujian kenaikan kelas. Nasib kelas kami memang tidak
sebegitu mulus paha artis. *Eh maksutnya tidak semulus nasib kelas lain. Kelas
lain sibuk persiapan, tidak dibebani apapun, sedangkan kami gelisah (bacanya
galau). Remidi harus dikumpulkan besok hari Rabu. Artinya kami hanya punya
waktu tiga hari. Remidi oh remidi. Galau berat guys, hashtag akurapopo.
Ujian pertama kami
lewati bersama. Kelas lain pulang lebih awal. Hanya kelasku yang pulang sore. Kami
pulang sekitar jam lima. Pembagian tugas remidi oleh ketua kelas. Ada yang
bertugas memegang kamera, ada yang
bertugas sebagai moderator, ada yang bertugas sebagai operator, ada yang tidak
bertugas, dan tentunya semua anak harus mengisi materi.
Hari pertama kami
lewati bersama. Sudah delapan belas orang selesai remidi. Artinya sudah separuh
kelas yang remidi. Begitupun hari kedua. Berjalan dengan baik. Dua hari yang
melelahkan. Dua hari selalu pulang sore. Kami pelajar bukan pekerja. Memang
kami sepertinya dilatih untuk menjadi seorang pekerja. Begitu kata anak SMK. Remidi selesai. Artinya
kami sudah menyelesaikan hukuman kami. Tidak peduli baik atau buruk, benar atau
salah, sesuai atau tidaknya, yang penting kami sudah menyelesaikan hukuman itu.
Benar atau tidak itu tergantung penilaian guru. Hukuman video presentasi itu
kami kumpulkan dalam satu flashdisk untuk dikumpulkan besok paginya. Kami hanya
bisa berdoa, semoga sukses.
Hukuman itu telah kami
selesaikan. Belenggu itu telah lepas. Sekarang kami sudah seperti kelas yang
lain. Kami kembali fokus dengan ujian kenaikan kelas. Memang remidi sangat
menguras akal dan tenaga. Habis akal juga habis tenaga. Sudah baik, remidi
tidak menguras iman dan tidak menguras dompet.
0 Response to "REMIDI OH HOMO"
Post a Comment